Bentuk Pemerintahan Negara Madinah dengan Sistem Pemerintahannya Khilafah yang saya telaah dari apa di ajarkan Rasulullah adalah “Monarki Konstitusi Demokratis”. Monarki Konstitusi Demokratis adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya (khalifah) dibatasi oleh ketentuan dan/atau peraturan terkait serta di pilih melalui proses pemilihan yang melibatkan kontribusi atau kedaulatan rakyat.
Secara terpisah dalam pelaksanaan sistem pemerintahannya monarki dan konstitusi di artikan sebagai berikut:
Monarki yang di maksud disini adalah pada pelaksanaan sistem pemerintahannya batas waktu Kepemimpinan yang dijalankan adalah Seumur Hidup” yang dikepalai oleh seorang Khalifah dengan kewenangan kekuasan di atas”Kekuasan Keuangan dan Kehakiman”.
Dengan maksud bahwa Muhammad SAW adalah pemimpin negara yang mendudukan keadilan ekonomi (Fiskal/Moneter) dan Hakim Tertinggi Negara yang mendudukan keadilan hukum. Akan tetapi tidak turut andil dalam aktivitas materialisme negara untuk kepentingan pribadi.
Sedangkan Konstitusi Demokratis dimaksudkan sebagai proses pemilihan khalifah tau pemimpin ummat selanjutnya di dasarkan pada asas-asas demokratis yakni Musyawarah Mufakat/Syuro melalui forum negara baik secara formal/non formal dari perwakilan masyarakat Madinah saat itu. Proses ini kemudian di lakukan dengan bai’at ta’at dan acara yang mengkutinya. Akan tetapi bukan pada basis “Monarki” yang pemilihan tonggak perjalanan kepemimpinannya didasarkan pada prinsip “Keturunan”.
Meski pada perjalanan waktunya dia mengalami perubahan “Bentuk dan Sistem Pemerintahan ” hingga Khilafah Turki Utsmani.
Bentuk Pemerintahan Negara Madinah yakni Monarki Konstitusi Demokratis dengan sistem pemerintahan di atas sejatinya sejalan dengan Bentuk Pemerintahan Indonesia yakni “Republik” sesuai tafsir amanah UUD 1945 Pasal 1 Ayat 1 dengan Sistem Pemerintahannya yakni Presidensial. Dalam pengertian dasarnya “Republik” adalah sebuah bentuk pemerintahan yang bercabang atau bersumber dari kedulatan rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau “urusan awam”, yang artinya kerajaan yang dimilik serta dikawal oleh rakyat.
Pada prosesnya pemerintahannya, negara Indonesia kemudian di kepalai oleh seorang “Presiden” dengan masa waktu dan wewenang sesuai tafsir Penjelasan UUD 1945 Bab VIII (asli) terkait “Kekuasan Kepala Negara Tak Terbatas” yang telah menjadi fakta hukum. Arti dari tafsir itu yakni masa waktu kepemimpinan diberikan “Seumur Hidup” serta wewenang kekuasan berada di atas “Kekuasan Keuangan dan Kehakiman”.
Tafsir yang menjadi fakta hukum ini tentunya tidak menyalahi sejarah bangsa yang lazim di Nusantara berupa “Kerajaan” bukan Trias Politica. Di lain sisi hal ini di buktikan dari perjuangan Bung Karno saat masa “Demokrasi Terpimpin” dengan mengangkat dirinya sendiri melalui MPRS yang ditunjuknya sebagai Presiden seumur hidup. Akan tetapi tidak sepakatnya Soerkano saat itu adalah basisnya “Keturunan” bukan keterlibatan rakyat. Selain itu Soekarno membentuk Bank Negara yakni BNI 46 sebagai lembaga keuangan mandiri negara yang tidak terikat dengan moneter internasional. Tidak sperti kondisi hari ini, dimana kekuasan keuangan di pegang oleh jelmaan Bank Belanda yakni “De Javasche Bank” menjadi Bank Indonesia atas bagian hasil Konverensi Meja Bundar, masa lampu. Bank Indonesia ini yang kemudian menjadi akar permasalahan utama keuangan negara hari ini hingga mengalami banyaknya defisit anggaran sebab masih terikat moneter internasional.
Terlepas dari akar masalah utama yakni sistem bank di atas, proses pemilihan Kepala Negara pun di dasarkan atas Musyawarah Mufakat (Sila ke-4 Pancasila) berdasarkan keterwakilan rakyat melalui Majelis Perwusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi (bukan lembaga tinggi) yang merupakan utusan daerah, golongan, kalangan agama, keyakinan dan lainnya. MPR pada utusan ini pun di pilih melalui musyawarah antar ummat tersebut yang orangnya telah dianggap sebagai tetuah yang bijak dan hikmah dalam memberikan pandangan juga putusan (Zuhud Dunia).
Dari sekilas penjelasan ini kita bisa menemukan beberapa titik kesamaan Bentuk dan Sistem Pemerintahan “Monarki Konstitusi Demokratis” zaman Madinah dan “Republik” untuk Indonesia yakni:
1.Melibatkan Keterwakilan dan Pengawalan Rakyat dalam proses pemilihannnya yakni melalui Musyawarah Mufakat bukan dengan pada Basis Keturunan atau Pemilu.
2.Masa waktu pemerintahan Presiden/Khalifah yakni seumur hidup.
3. Wewenang Kekuasan berada di atas Kekuasan Keuangan dan Kehakiman.
Namun pada kondisi saat ini, pelaksanaan proses pemerintahan Indonesia harus diakui mengalami pergeseran makna dan tafsir karena masih pada perjalanan mencari bentuk sistem yang ideal.
Beberapa contoh yang dapat kita gali dari ketidakjelasan pemerintahan di kondisi hari ini adalah sebagai berikut:
1. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan adalah Satu Kesatuan.
Konsepsi kepala negara serta kepala pemerintahan saat ini yang menjadi satu kesatuan tentunya bukan merupakan amanah konstitusi sebab tidak terdapat dalam legal formil UUD 1945. Padahal amanah UUD 1945 memisahkan dua kewenangan ini.
Untuk dapat memahami perbedaan itu maka kita harus membedah maksud dari Pemerintahan dan Negara.
-Negara=Rakyat+Sistem Pemerintahan dalam satu Wilayah.
-Sedangkan Pemerintahan= Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yg mana, saat ini setara kedudukannya termasuk MPR.
Presiden saat ini masuk dalam wilayah Eksekutif, yg sejatinya sebagai Kepala Pemerintahan, bukan Kepala Negara.
Karena seharusnya Kepala Negara berada di atas Rakyat + Lembaga Trias Politica tersebut tapi tidak sebagai Kekuasan Eksekutif.
2. Dari proses pemilihannya Presiden sebagai Kepala Negara saat ini di pilih dari Pemilu 5 Tahunan bukan melalui Proses Musyawarah Mufakat yang dilakukan oleh MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara bukan lembaga tinggi negara sesuai amanah Pancasila Sila ke-4.
3. Konsepsi MPR hari ini secara nama dan proporsinya saja sudah menyalahi kaidahnya. MPR yang seharusnya adalah Majelis/Forum Permusyawaratan Rakyat tertinggi yang diisi dari perwakilan segenap rakyat baik itu utusan daerah, agama,keyakinan dan golongan malahan menjadi Forum Pemvotingan Rakyat yang hanya diisi oleh Partai Politik saja atas proses Pemilu, serta belum tentu mewakili segenap rakyat.
Selainnya yakni telah keliru menjadi lembaga tinggi negara pada legal formil UUD dan perjalanan sejarahnya, meski pada strukturalnya masih perlu di telaah kembali.
Beberapa hal terkait kesamaan Bentuk dan Sistem Pemerintahan Negara Madinah dan Negara Indonesia yang coba saya rangkum di atas terkhusus untuk NKRI sepatutnya perlu kita syukuri. Sebab nama NKRI ini diperjuangkan atas keringat, darah, waktu, pemikiran tak terkecuali harta dari para kiyai, ulama, kalangan agama, nasionalis juga pejuang lainnya yang belum sempat tertulis, yang kemudian diramu dari segala model idelologi yang ada terutama agama tak terkecuali menggali dari Negara Madinah. Rasa syukur ini tentunya perlu diwujudkan dalam ketaaan, kepedulian, bela dan rasa cinta tanah air kita terhadap bangsa dan negara khususnya Pancasila juga UUD 1945. Meski ada beberapa hal yang perlu kita upgrade perbaikannya pada permasalahan yang sebagian tertulis di atas sesuai kemampuan keterampilan ide, gagasan dan perjuangan kita masing-masing. Bukan untuk merubah total strukturnya menjadi komunisme, kapitalisme, khilafah, dan lainnya sebab semuanya telah ternaung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Itulah bentuk dan sistem pemerintahan Indonesia yang telah di anugerahakan oleh Tuhan, Allah SWT.
“Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya dan seterusnya hingga mendapat bentuk dan dasar negara” (UUD 1945 Alinea ke-3;-4)