Jum. Sep 22nd, 2023

Kadang kita mempertentangkan antara konsep Pancasila+UUD 1945 dengan Konsep Islam tau Konsep Khilafah, padahal pada dasarnya kesemua konsep itu adalah sama. Bukti kesamaan ini dalam struktur negara di luar pembahasan lainnya maka dapat di liat sebagai berikut:

1. Syarat Pemimpin dalam Islam dan Pancasila+UUD 1945
Syarat Syariat Islam tertinggi seorang pemimpin atau khalifah adalah dia harus berlaku Adil dalam kehidupan. Tentunya syarat ini adalah puncak dan wujud tertinggi di luar syarat-syarat lainnya. Dasar pemikiran ini terilhami dari hadist Qudsi tentang 7 Golongan Manusia yg di beri naungan oleh Allah SWT.
Dan kita akan mendapati bahwa naungan pertama di berikan pada “Pemimpin yang ADIL”.
Tentunya banyak hadist lainnya yang mendukung tentang syarat pemimpin tersebut yang pada puncaknya adalah “SIFAT ADIL”.
Kaitannya dengan hal tersebut dalam konsep Pancasila+UUD 1945 pun sejatinya sama. Di mana syarat tertinggi seorang Kepala Negara pada Tafsir Tidak Tak Terbatas UUD 1945 Bab VIII Tentang Kepala Negara adalah “ADIL”.

2. Proses pemilihan pemimpin negara dalam Islam dan khazanah kekhalifahan di konteks Negara Madinah adalah Musyawarah Mufakat +Baiat.
Hal ini pula sesuai dengan amanah Pancasila+ UUD 1945.
Di mana proses pemilihan pemimpin negara seharusnya adalah Musyawarah Mufakat sila-ke 4 Pancasila “Kerakyatan yang Di pimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dlama Permusyawaratan Perwakilan”.

3. Wewenang Utama Khalifah dan Kepala Negara
Dalam khazanah Islam dan konsep Khilafah wewenang utama seorang khalifah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah Kekuasan Atas Baitul Mall/Uang atau Kekuasan Fiskal/Moneter dan Kekuasaan Kehakiman.
Dengan maksud bahwa Rasulullah adalah pemimpin yang mendudukan keadilan ekonomi (Fiskal/Moneter) dan Hakim Tertinggi Negara untuk mendudukan keadilan hukum. Tapi tidak turut andil dalam aktivitas materialisme negara untuk kepentingan pribadi.
Dua wewenang ini pun ada dalam amanah konstitusi yakni amanah UUD 1945 Bab VIII Tentang Kepala Negara. Di mana dalam penjelasan  UUD tersebut Kepala Negara yang di tulis oleh Soekarno mempunyai wewenang ” Tidak Tak Terbatas”.
Kita kemudian menelaah pada Tafsir Tak Terbatas itu untuk melihat wewenang Kepala Negara ini.
Tafsir Tak Terbatas itu bermaksud yakni :
-Kepemimpinan Seumur Hidup
-Tak terbatas pada kekuasan keuangan dan hukum artinya Kepala Negara punya hak u/ mendudukan keadilan ekonomi terkait keuangan (moneter dan fiskal) dan Kepala Negara adalah Hakim Adil tertinggi di Muka Bumi. Dia berada di atas kekuasan legislatif, eksekutif, yudikatif dan keuangan pada konteks negara.
Tafsir Tak Terbatas pada kondisi negara hari ini tidak menyalahi konsep kebangsaan di Indoensia. Di mana sistem pemerintahan pada sejarah bangsa saat itu adalah  “Kerajaan” dengan berbasis keturunan. Akan tetapi pointya berada pada wewenang seorang Raja yakni ” Kekuasaan kehakiman dan Kekuasaan keuangan Tertinggi Negara”. Dia juga berada di atas lembaga eksekutif dan legislatif yg dulu dipegang oleh Patih dan Forum Majelis Kerajaan.

Akan tetapi pada kondisi saat ini status “Kepala Negara” itu masih kosong. Yang ada hanyalah “Kepala Pemerintahan” dalam ranah “Eksekutif” bukan “Kepala Negara” yang berada di atas tiga lembaga Trias Politica tersebut. Untuk mehami itu berikut sedikit penjabarannya:
Negara=Rakyat+Sistem Pemerintahan dalam satu Wilayah.
Pemerintahan= Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yg mana, saat ini setara kedudukannya termasuk MPR.
Presiden masuk dalam wilayah Eksekutif, yg sejatinya sebagai Kepala Pemerintahan, bukan Kepala Negara, karena seharusnya Kepala Negara berada di atas Rakyat + 3 Lembaga Trias Politica tersebut.

4. Masa Kepemimpinan
Masa Kepemimpinan seorang khalifah adalah seumur hidup hingga kemudian ajal menjemputnya. Dalam pemaknaan kekinian, kita menyebutnya sebagai “Monarki”. Inilah yg Rasulullah contohkan dengan penyebutannya kami namai sebagai “Monarki Konstitusi”. Di mana makna”Monarki yang dimaksud adalah pada konteks “Seumur Hidup” bukan basis “Keturunan”. Sedangkan konstitusi adalah proses pemilihannya melalaui musyawarah mufakat bukan basis Keturunan. Hal ini sesuai amanah UUD 1945 pada point 3 di atas. Maka masa kepemimpian seorang kepala negara pun harus “Seumur Hidup” bukan 5 Tahun berganti kepemimpinan.

5. Wujud Puncak atau Tujuan Pelaksanaan.
Dalam penerapan Syariat Islam, pada konteks bernegara atau sosial-masyarakatnya wujud puncak atau tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terbentuknya negara yang “Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghofur” dengan maksud ” Negara yang Adil, Makmur dan Sejahtera”.
Tujuan penerapan Syariat Islam ini pun dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah sama. Para perumus Pancasila dan UUD yang merupakan kiyai  terkemuka di zamannya paham betul bahwa tujuan tertinggi pencapaian Syariat Islam pada tatanan sosial masyarakat adalah Adil, Makmur dan Sejahtera”. Mereka sangat tawadhu dalam memahami Islam hingga  meramu bahasa Syariat Islam sedemikian bagusnya yang kemudian dimasukan pada tujuan dan cita-cita bernegara.
Dalam UUD 1945 kita dapat melihat ini Prembule alinea ke-4 yang berbunyi :”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Sedangkan dalam Pancasila kita dapat menemukannya di Pancasila Sila ke-5  yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
“Adil yang dimaksud disini adalah Adil dalam kedudukan hukum dan ekonomi”. Ukuran adil dalam ekonomi adalah sesuai cita-cita Seokarno yakni sampai rakyat tidak ada yang miskin dan merasa berkecukupan untuk hidup”. Sedangkan adil dalam hukum ukurannya adalah kedudukannya sama dimata hukum. Tidak ada perbedaan ini kaya-miskin, ini pejabat-bukan penjabat dan lainnya. Dan pada ukuran putusan hukum adalah sampai keduanya merasa puas, ikhlas, dan legowo untuk saling menerima putusan.

Jadi dari sedikit penjelasan di atas diluar kesamaan konsep lainnya misal pada Sistem Ekonomi Islam yang berdasarkan akad Mudarabbah/Musyarakkah dan Tanpa Riba yang juga sesuai  amanah UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1 (Sistem Ekonomi) dan UUD 1945 Bab VII  Penjelasan Hal Keuangan (Nilai Larangan Riba), maka sudah saatnya kita tidak perlu mempertentangkan antara konsep Islam atau Konsep Khilafah dengan Pancasila sebab jika kita bicara Khilafah sejatinya kita bicara konsep Pancasila + UUD pada konteks kekinian. Demikian sebaliknya jika kita bicara konsep Pancasila maka kita pun sejatinya bicara konsep Islam dan Khilafah itu sendiri. Tinggal kita yang kemudian memaknai lebih mendalam terkait apa itu Khilafah/Islam dan apa itu Pancasila. Dan saya memaknai kesemuanya adalah sama pada penjabaran saya di atas.

Meski demikian, harus diakui bahwa pada kondisi saat ini konsep Pancasila dn UUD 1945 di atas tidak demikian terjadi. Maka dari itu seharusnya ada beberapa yang harus kita update bersama yakni:
Pertama terkait Tafsir dan Haluan Baku Pancasila yang masih kosong.
Kedua Struktur Kepala Negara yang saat ini pun masih kosong.
Ketiga syarat Kepala Negara yang harus kita sepakati sebagai garansi agar dapat berlaku “ADIL” pada wewenangnya.
Point ketiga ini kami tawarkan sesuai tafsir UUD pada kata ” Tidak” agar Kepala Negara  tidak dapat bertindak semaunya, tidak korupsi, dan lainnya. Syarat Kepala Negara pada tafsir kata “Tidak” sesuai amanah UUD 1945 yakni:
-Tidak di perkenankan menerima apapun dari negara bagi dirinya. Hanya makan dan minum yang cukup. Ekstrimnya dia “Nol dari Harta Negara”.
-“Tidak Adil” putusannya, maka dia harus “Dihukum atau Menghukum Mati Dirinya”.

Jadi pada akhirnya bukan Pancasila dn UUD 1945 yang harus diganti dengan Khilafah. Sebab dia sejatinya sama degan konsep Islam atau Khilafah. Dan kalau diganti kita pun tidak mensyukuri nikmat yg telah ada bahkan kita akan kufur nikmat. Juga akan repot pada prosesnya yakni negara harus bubar terlebih dahulu dan produk hasil Pancasila juga UUD 1945 kita tinggalkan, hingga akhirnya negara kita jadi keos. Dan Islam tidak mengajarkan itu pada prakteknya. Karenanya yg perlu kita lakukan adalah mengisi kekosongan yang ada, bukan mengganti yang sudah ada.

“Pancasila dan UUD 1945 disusun bukan oleh Manusia sembarangan tapi mereka yang berlabel kiyai pada zamannya tak terkecuali Soekarno, sebagai ikthiar mereka dalam meramu khazanah  Islam yang dikontekskan pada kondisi kekinian”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X