Dalam beberapa waktu belakangan, kita tengah dipertontonkan oleh sedikit pemahaman terkait “Simbol Kuda Berkelahi” yang kini menjadi icon daerah Kabupaten Muna. Saat kita pertama kali mengunjungi kota ini, maka tak ayal kita menemukan simbol tersebut berdiri di tengah Kabupaten Muna, tepatnya di pusat Kota Raha yang menjadi pusat hilir mudik pelabuhan dalam perwujudan patung.
Tak hanya itu tentunya, simbol ini kemudian menjadi lambang Kabupaten Muna pada umumnya baik itu Muna Induk atau Muna Barat yang kini telah terpisah wilayahnya. Lambang inilah yang sampai kini di gunakan di semua instansi-instansi pemerintah daerah.
Pada masanya simbol kuda berkelahi ini dalam ragam wujudnya jarang di pahami oleh kita sebagian masyarakat Muna, terutama para pemuda(i) di Kabupaten Muna. Bahkan karena kurangnya pendalaman, penghayatan, dan pemahaman ini, kita langsung menghukumi sepihak dengan negatif dari maksud aslinya.
Tak terkecuali patung kuda yang kini tengah berdiri di pusat Kota Raha, Kabupaten Muna. Merasa ke Ilmuwan Islam yang kita pelajari lebih banyak dan mengetahui ajaran Islam yang didapat lebih jauh, dengan mudah juga entengnya kita mengatakan bahwa itu adalah bagian dari “Syirik”, menyekutukan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Di satu sisi tak jarang dari kita menjustifikasi dan mengaitkan bahwa terjadinya pertengkaran, perdebatan, dan perkelahian di Kabupaten Muna baik secara sosial-masyarakat atau politik karena adanya “Patung Kuda Berkelahi”.
Tanpa mencari tau niat dan tujuan di balik adanya patung tersebut.
Dalam mendudukan persoalan ini, maka ada dua term yang harus kita bahas bersama. Pertama adalah kaidah hukum pembuatan “Patung”. Dan kedua adalah makna simbolik dari ” Kuda Berkelahi” itu sendiri.
a. Pertama Kaidah Hukum Pembuatan Patung
Beberapa dari kita mengharamkan ketidakbolehan pembuatan patung atas dasar hadist-hadist Rasulullah SAW. Salah satu di antaranya adalah َرونم املصوم القيامةَ يومم ا َّلل ه َ عندً إن ه أشد ه النهاس م عذاًب
“Sesungguhnya orang yang
paling keras adzabnya di sisi Allah pada Hari kiamat adalah tukang gambar
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ancaman berupa adzab yang pedih bagi Mushawwir dalam hadis tersebut disimpulkan oleh kelompok yang mengharamkan sebagai isyarat pengharaman. Namun bagi yang membolehkan gambar justru ditafsirkan berbeda dari penafsiran pertama. Imam Nawawi berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan al-Mushawwir dalam hadis ini adalah pembuat patung yang disembah. Atau bisa dimaknai juga sebagai al-mushawwir yang membuat gambar atau patung dengan tujuan mudhahat menandingi dan menyaingi ciptaan Allah SWT. (Syarah Shahis Muslim, Imam Nawawi, juz 11, hal. 91). (Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, Ahmad Hilmi, Lc. MA Hal: 20-21) Jadi kondisi disini terjadi karena ada illat hukum yang mengikutinya yakni sebagai persembahan, pemujaan, juga sikap kehati-hatian ummat agar tidak salah menafsir maksud dari pembuatan tersebut. Sehingga jika adanya patung ini di luar konteks dan tujuan tersebut maka menjadi syah untuk di lakukan.
Di sisi lain, menurut para ulama, illat adanya pelarangan patung pada zaman Nabi karena patung saat itu dibuat untuk disembah menjadi berhala, sebagai tempat pemujaan dan lainnya. Sehingga pada masa sekarang, apabila patung itu dibuat tetap untuk tujuan menyembah atau disembah orang, maka tetap tidak boleh dilakukan. Akan tetapi, jelas penulis Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab, kalau tujuannya untuk seni dan sebagai pengingat akan jasa-jasa seseorang juga simbol falsafah budaya, serta bukan untuk disembah, maka menjadi boleh-boleh saja. Selama tujuannya berkarya, mengekspresikan seni bahkan mengingatkan orang yang menikmati seni akan kebesaran Allah dan nilai-nilai Budaya juga Keislaman, justru boleh di adakan.
Meminjam teori dalam kajian hukum Islam (fikih), ada kaidah: “Hukum asal segala sesuatu diperbolehkan” (Al-ashlu fî al-asyyâ` al-ibâhah). Hukum asal membuat patung diperbolehkan (ibâhah), namun hukum ini bisa berubah menjadi haram, wajib atau sunnah (dianjurkan) tergantung dengan tujuan dan manfaat penggunaannya.
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”(HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).
Laiknya di Jakarta ada patung Jenderal Sudirman itu membantu kita mengingat bahwa tokoh ini orang berjasa, orang yang wajar ditiru kepahlawanannya.
Hal ini senada dalam kitab Al-Hidayah dikatakan: Patung (yang meniru sesuatu) yang tidak bernyawa hukumnya tidak makruh karena ia tidak disembah. Dengan alasan pendapat Ibnu Abbas bahwa ia melarang juru gambar/pemahat dari menggambar/memahat. Pemahat/pelukis itu berkata, bagaimana bisa itu pekerjaanku? Ibnu Abbas berkata: Apabila harus, maka anda dapat membuat patung kayu. Kelompok lain yang membolehkan gambar juga beragumen dengan syariat yang berlaku pada nabi-nabi sebelumnya (syar’ man Qablana). Sebagaimana yang dikisahkan oleh al-Quran tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.
Allah berfirman dalam Surat Saba’ Ayat 13:
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). (QS. Saba’ : 13)
Para Imam ahli tafsir seperti, ‘Athiyah al-Aufi, ad-Dhohhak, as-Suddiy megatakan, yang dimaksud dengan tamatsil adalah shurah (gambar atau patung) yang bisa jadi terbuat di tembaga, tanah dan kaca.
(Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, juz. 6, hal. 500). Pertanyaanya kemudian, apakah syariat sebelum kita menjadi syariat kita? Jawabnnya ada pada firman Allah
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka”.
(QS. Al- -An’am : 90). (Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, Ahmad Hilmi, Lc. MA Hal: 18-19)
Dasar inilah yang menurut saya pribadi menjadikan hadirnya “Patung Kuda Berkelahi” itu terpampang indah di tengah kota. Di mana kita sebagai masyarakat Muna di panggil untuk menggali makna filosofi serta mengambil hikmah darinya. Selain itu adanya patung tersebut akan menambah nilai-nilai keindahan kota yang justru ini tidak terlarang dalam pandangan Islam itu sendiri.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali ‘Imran; 14)”
Karena itu tak elok rasanya jika kita langsung menjatuhkan perkataan seperti itu sebagai seorang pembelajar bak pengemban dakwah juga pemuda yg besar dan tumbuh di Muna, tanpa mentaddaburinya. Terlebih lagi untuk kekhasaan budaya Muna yang juga kental dengan nilai-nilai keIslamannnya.
b. Kedua “Makna Simbolik Kuda Berkelahi”.
Sebelum kita menggali makna dari simbol tersebut maka kita terlebih dahulu menggali dengan sebuah pertanyaan. Mengapa harus hewan “Kuda” yang menjadi pilihan para tetuah zaman dulu? Mengapa tidak sapi, kambing, domba, atau unta yang menjadi hewan endemik Sulawesi?
Pada sejarahnya, hewan kuda ini memiliki cerita yang panjang dan kuat di Muna. Masyarakat di daerah ini telah mengenal hewan tangguh tersebut setidaknya sejak ratusan tahun silam. Hal itu dibuktikan dengan lukisan yang ditemukan di dinding goa-goa prasejarah di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia, Muna. Di antara berbagai lukisan di situs itu, ada yang menggambarkan kuda ataupun orang sedang menunggang kuda.
Selain itu, pada masa pra kerajaan dan kerajaan di Muna, Kuda menjadi sarana transportasi utama yang di gunakan untuk berkendara, berburu juga berperang.
Hingga kemudian hewan “Kuda” ini menjadi kental di keseharian masyarakat Muna kala itu.
Di satu sisi, kuatnya Khazanah ke Islaman Muna, menjadikan “Hewan Kuda” sebagai hewan utama karena para tetuah dulu memahami bahwa memelihara, merawat dan mengendarai kuda adalah salah satu bagian dari Sunnah Rasulullah SAW juga tradisi ke Islaman yang termuat dalam beberapa ayat di Al-Quran.
Allah berfirman, ‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari (pemeliharaan) kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah.” (QS al-Anfal 60).
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yg mengikat (memelihara) seekor kuda di jalan Allah, kemudian ia memberinya makan dengan tangannya, maka baginya dari setiap biji satu kebaikan.” (HR Ibnu Majah).
Ketaatan pada Quran dan Sunnah Rasulullah pada batasan ilmu yang mereka dapatai menjadikan hal itu terpatri dalam diri juga tingkah mereka.
Lantas mengapa harus ” Kuda Berkelahi”?
Kuda Berkelahi di maksudkan sebagai simbol harga diri yang harus dipertahankan. Juga mengajarkan ketelatenan, eling, dan waspada menjalani proses kehidupan.Di mana dia menjadi simbol prestise karena hanya dimiliki oleh kalangan tertentu, terutama bangsawan.
Pemahaman yang sakral terkait ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap “Darah dan Nyawa Manusia”.
Proses peperangan fisik yang mulanya akan terjadi karena perebutan tahta atau lainnya yang belum terselesaikan, tergantikan oleh ajang “Adu Kuda” yang kita kenal di budaya Muna dengan “Kapogiraha Adhara”. Pergantian adu nyawa manusia dengan ” Kuda Berkelahi” ini bukan berarti ingin menyiksa hewan atau semacamnya, akan tetapi karena tingginya nilai budaya dan ahlaq masyarakat Muna kala itu. Para tetuah Muna tak menginginkan adanya pertumpahan darah manusia terjadi. Mereka pun paham bahwa kalau hal itu terjadi maka akan menimbulkan dendam yang berkepanjangan di internal masyarakat Muna.
Hal ini tentunya juga tidak menyalahi fitrah dari ” Hewan Kuda” itu sendiri yang memang punya sifat untuk berkelahi satu sama lain, termaktub dalam tafsir QS. Al ‘Adiyat: 1-11.
Pada prosesnya pun “Kuda” yang akan di adu adalah dua ekor kuda jantan dewasa yang memiliki ukuran besar yang sama. Selain itu, kuda aduan juga harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Satu di antaranya adalah kuda harus dilatih oleh sang pemilik agar kuda tersebut memiliki kemampuan tarung yang cakap. Kuda terbaik dan pilihan inilah yang mewakili para raja saat itu. Dalam proses aduan pun tidak sampai menyebabkan luka parah, apalagi mati. Ketika salah satu kuda sudah mulai menghindar, maka perkelaihan akan di hentikan dan pemenang akan ditentukan.
Hal ini lah yang kemudian menjadi budaya Muna hingga saat ini. Dan menjadi sakral sebab “Filosofi Penghormatan Nyawa Manusia” tadi. Hingga hanya ditampilkan pada waktu tertentu saja yakni menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI, HUT Kabupaten Muna, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta hajatan besar serta untuk menyambut para tamu besar yang hendak berkunjung.
Itulah pemaknaan filosofi juga story dari “Kuda Berkelahi” yang kini menjadi simbolik Kabupaten Muna dalam ragam wujudnya baik itu patung penghormatan juga lambang daerah. Pesan yang ingin disampaikan dari simbol itu adalah agar kita masyarakat Kabupaten Muna dalam menyelesaikan sebuah masalah bisa dengan baik dan bijak, tidak menimbulkan pertengkaran, perpecahan, perkelaihan, apalagi pertumpahan darah atau hilangnya nyawa. Semoga kita mampu memahami dengan baik kedalaman falsafah budaya dan adat-istiadat Muna yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, martabat tau jati diri, terlebih lagi ke Islaman.
#SalamBudaya
#SalamLestari