“AKANKAH MENJADI SOLUSI BAGI KABUPATEN MUNA ATAU HANYA MENJADI JUDI TAHUNAN BELAKA!!!”
Pemilu yang menjadi hegemoni kenegaraan bahkan daerah hingga saat ini, dalam beberapa waktu kedepan akan terlaksana. Terkhusus di Kabupaten Muna, Pemilu Bupati/PILKADA sebagai ajang memilih Kursi Kepemimpinan Daerah ini, kembali akan dilakasanakan sekira bulan Agustus 2020 mendatang.
Para calon bupati pun dengan sigap mulai memasang taringnya kepartai juga masyarakat sebagai pintu masuk mereka dalam penjaringan calon oleh pelaksana pemilihan. Visi dan misi serta kontrak politik masif di paparkan dan di tawarkan oleh para calon demi meyakinkan petinggi partai tak terkecuali masyarakat pemilih.
Pra pemilihan setiap calon dengan sigap mencoba menggoda rakyat dengan program unggulan yang di tawarkan bak sepak terjangnya di lapangan pada janji kampanye yang dikoarkan. Entah program itu dapat dipastikan terlaksana atau tidak, kita pun pemilih enggan untuk memastikan janji itu. Salah satunya adalah membuat kontrak fakta integritas di atas hukum kepada mereka.
Tak lupa pula, segelontor anggaran dipersiapkan oleh mereka juga pelaksana pemilu demi riuh ramai pemilihan. Hingga tak tanggung-tanggung dana triliunan itu dihamburkan untuk menggaet para hati pemilih. Seakan dia dihanguskan begitu saja demi satu hari “Berjudi Daerah” yang dibungkus dalam bingkai bernama “Pemilihan Kepala Daerah” dan diamini oleh sebagian kita masyarakat.
Selain itu, pemilihan membawa kita para pemilih tak luput dari ajang gontok-gontokkan baik lewat dunia maya (media sosial) atau memungkinkan terjadi di realita masyarakat. Saling menjatuhkan, mengejek, mencaci dengan bahasa yang melanggar adat-istiadat Muna tak jarang untuk dilontarkan. Bahkan jalur hukum pun ditempuh sebagai causalitas dari aktivitas verbal/fisik negatif yang dilakukan sebagai pemilih ataupun pendukung pasangan calon.
Hal lumrah itu terjadi sebab proses pemilu saat ini tak mendukung kemauan perindividu/produktivitas masyarakat. Sistem pemilu yang “Close Loop” membuat calon terpilih tidak tau menau siapa yang memilihnya. Pada sistem ini pun kontrak “Fakta Integritas” tidak pernah terdukung didalamnya. Akibatnya untuk menagih janji kampanye sebelumnya sulit atau bahkan tidak dapat dilakukan. Konsekuensi janji yang tidak terpenuhi, tak satupun menjerat erat pada mereka yang terpilih. Sementara saat itu nasib hidup-mati rakyat sedang dipertaruhkan.
Meski demikian yang terjadi dalam sistem, sebagai rakyat pemilih seharusnya sudah mulai pandai untuk mengikat kontrak terhadap calon bupati yang beradu pra kampanye sedang berlangsung. Semisal jika janji yang dipaparkan tidak terealisasi, maka tidak akan menerima gaji bupati, gaji di gunakan untuk aktivitas sosial atau hal lain yang disesuaikan dengan kondisinya. Tentunya janji itu tidak sekedar ucapan semata, wajib ada hitam di atas putih yang terikat oleh hukum. Hal ini perlu dilakukan
agar “Pemilu Bupati kedepan tak hanya menjadi “Tong Kosong Belaka” sehingga Nasib dan keinginan Masyarakyat Muna tidak Menjadi Ajang Judi Semata”
Akankah ada Calon Bupati yang Siap Sedia untuk Itu??****