Sel. Jan 21st, 2025

Dalam perencanaan sistem tata kelola pembangunan negara/fiskal  tak terlepas  dari namanya Kebijakan  Moneter. Kebijakan moneter adalah sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral dalam bentuk pengaturan persediaan uang untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat sesuai amanah UUD 1945.  Bank Indonesia adalah bank sentral negara milik Indonesia yang baru disahkan menjadi bank sentral oleh pemerintah RI melalui undang-undang pada 1 Juli 1953 seiring dengan nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) setelah penyerahan kedaulatan RI dari Belanda.

Pada tahu  1945, Jepang kalah dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Bangsa Indonesia pun menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, tak lama berselang, pasukan Belanda datang dengan membonceng tentara Sekutu. Belanda rupanya ingin berkuasa kembali di Indonesia. Selama era perang mempertahankan kemerdekaan, Belanda merebut bank-bank yang dibuka di masa Jepang, termasuk Nanpo Kaihatsu Ginko yang dikembalikan menjadi De Javasche Bank. Setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, DJB berhasil membuka kembali kantor-kantor cabangnya di berbagai daerah. Di sisi lain, pemerintah RI mengeluarkan undang-undang darurat mengenai pendirian Bank Nasional Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946 yang kemudian mengedarkan mata Uang Republik Indonesia yang berdaulat yakni ORI dengan kolateral emas sesuai amanah UU No.19 Tahun 1946 “Setiap 10 Rupiah dijamin dengan 5 gram emas. UU No 19/1946”

Pencetakan uang ini selain dimaksudkan mematahkan dominasi uang NICA yang semakin menyebar di Indonesia, juga untuk membesarkan hati bangsa Indonesia yang baru merdeka. ORI secara politis menunjukkan kedaulatan RI dan juga untuk menyehatkan ekonomi yang dilanda inflasi hebat dan dapat berdaulat secara ekonomi. Maksud pemerintah RI yang ingin menjadikan BNI(46) sebagai bank sirkulasi atau bank sentral yang Berdaulat ini  terhambat karena situasi darurat perang yang terjadi kala itu, ditambah masih sulitnya memperoleh pengakuan dari negara-negara lain. Selain itu, tujuan
Belanda bersama Sekutu  yang ingin  menajajah kembali Indonesia beraksi menguasai urat nadi perekonomian Indonesia yaitu melalui peredaran uang. Belanda + Sekutu terus melakukan aksi perusakan ekonomi Indonesia, antara lain dengan melanjutkan blokade dan memutus komunikasi antara pusat dengan daerah. Akibatnya, banyak daerah yang mencetak uang sendiri. Tekanan Belanda sedemikian rupa sehingga pemusatan pencetakan uang tidak bisa dilakukan.

Disisi lain desakan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional membuat Belanda terpaksa bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Rangkaian panjang KMB akhirnya disepakati pada 2 November 1949. Selain menghasilkan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, KMB juga menetapkan bahwa De Javasche Bank akan menjadi bank sentral bagi negara Indonesia.

Meskipun telah dinasionalisasi sejak 1 Juli 1953, pengelolaan moneter BI tidak tunduk pada kedaulatan NKRI sebab  BI merupakan jejaring bank sentral di seluruh dunia yang merupakan Sub Ordinat dari Moneter Internasional/Bank Dunia. UU RI No.17 Tahun 2003 pasal 6 ayat 2 point d serta Tap MPR RI No.XVI Tahun 1998  Pasal 9 (MPR RI masih Lembaga Tertinggi Negara) hak moneter berada ditangan BI dan lembaga diluar BI termasuk pemerintah tidak boleh ikut campur atas hak tersebut.

Akibatnya dalam Proses Percetakan uang oleh BI ke Pemerintah menggunakan Akad Utang/Transaksi Ribawi. Di mana uang telah menjadi satu komoditas baru yang di perjual belikan oleh BI ke Pemerintah menggunakan SBN. Hal ini secara tersirat di ungkapkan oleh Al-Marhum BJ HABIBIE dalam wawancara terakhirnya di TV-One Berjudul “Sedang Viral!! Statement Terakhir Almrhum BJ. Habibie di Indonesia Lawyers Club(ILC)” menit ke 3:21-4:50 mengingatkan kita bahwa BI itu sejatinya adalah Sistem Moneter yang mencetak uang dan kemudian menjual uang itu kepada siapa saja ketika memenuhi syarat melalui namanya Bank.

Pendapat terkait praktek keuangan  oleh BI ini pun datang dari Prof Fahmi Amhar berikut ” Pada awalnya, untuk setiap lembar uang yang diterbitkan, bank mesti memiliki backup barang yang senilai.  Semula barang itu adalah emas/perak.  Lambat laun, karena emas/perak sangat terbatas, sementara kebutuhan transaksi meningkat, maka lalu bank menerbitkan uang dengan backup uang asing yang diyakini dibuat dengan metode backup yang sama.  Ini disebut devisa.  Kemudian backup itu juga asset negara seperti BUMN.  Jadi surat berharga kepemilikan BUMN itu, ditukar pemerintah ke bank menjadi uang.”

Tenaga Ahli Utama Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menjelaskan
uang dari BI masuk ke pemerintah melalui pembelian SBN lalui ditransfusikan ke kebijakan fiskal baik melalui program sosial maupun stimulus dunia usaha,” ujarnya. Senada dengan itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Oskar Vitriano mengatakan BI tak bisa asal mencetak uang. Hal yang paling benar adalah BI membeli SBN dari pemerintah, meski harus membuat pemerintah menambah utang. 

Sedangkan menurut Awalil Rizky salah satu instrumen untuk mencetak uang adalah  berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) domestik atau berdenominasi rupiah. Sekitar 96,72% dari SBN domestik bersifat bisa diperdagangkan. Posisi SBN domestik diperdagangkan hingga akhir Agustus mencapai Rp4.369,51 triliun. Bertambah Rp1.536,15 triliun jika dibanding akhir Maret 2020 yang sebesar Rp 2.833,36 triliun. Kebijakan yang kemudian diambil antara lain membolehkan Bank Indonesia (BI) membeli SBN di pasar perdana. Kepemilikan BI atas SBN domestik diperdagangkan secara keseluruhan (gross) per 31 Agustus 2021 mencapai Rp 998,92 triliun.

Praktek Kebijakan Moneter oleh BI di atas sangat jelas telah melanggar amanah UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini dapat kita check pada BAB VIII HAL KEUANGAN di mana di katakan bahwa ” Uang terutama adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual-beli dalam masyarakat. Jadi dia bukan “Komoditas” seperti yg di praktekan oleh BI saat ini. Akibat dari akad Percetakan Uang oleh BI ini, “Utang Negara/Pemerintah” kian membludak. Data yg di paparkan oleh Bang Akbar Faisal dalam diskusinya bersama Bang Ichan dengan tema “Diajak Diskusi Kok Malah Ngajak Berantem, Debat Abis, Adu Data” di kanal Youtube miliknya @akbarfaisaluncencored menunjukkan bahwa Sumber Utang Indonesia terbagi atas dua (2) jenis yakni:
a.Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5.580, 02 T.
b. Pinjaman Dalam Negeri Rp 12,32 T, dan Pinjaman Luar Negeri 825, 51 T.

Jadi sumber utang terbesar menurut beliau adalah SBN merupakan akad jual beli uang pemerintah ke BI.

Sedangkan dikutip dari merdeka (dot) com(Utang Indonesia ) total utang pemerintah hingga akhir tahun 2021 Rp 6.418,15 triliun tersebut, sebagian besar berasal dari utang lewat penerbitan SBN sebesar 5.580,02 triliun. Rincian utang dari SBN berasal dari pasar domestik sebesar Rp 4.430,87 triliun dan valas sebesar Rp 1.280,92 triliun. Sisanya di luar SBN, utang pemerintah berasal dari sumber pinjaman yakni sebesar Rp 838,13 triliun.

Dari sejarah, sistem dan efek domino dari adanya Bank Central yg bernama BI ini, maka semoga dapat memberikan kesadaran yg jelas bagi kita tentang akar masalah Sistem Ekonomi kita saat ini. Olehnya tanpa mengubah posisi BI dengan membuat Sistem Keuangan yg berdaulat seperti yg dilakukan Soekarno pada BNI4 maka mau sampai Pemilihan  Presiden sampai Air Laut Mengering pun degan calon yg kita anggap hebat sekalipun tidak bisa  memberikan perubahan apa-apa jika tata kelola Sistem Ekonomi kita. Revolusi Sistemik sepaket manusianya adalah jalan terakhir yang perlu kita ambil, untuk mewujudkan Ekonomi Indonesia yg berdaulat sesuai cita-cita para pendiri bangsa dan NKRI yg tertuang dalam Prembule UUD 1945 alinea ke-4.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X