Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada Alinea I menyatakan, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan ini menunjukkan pengakuan dan pandangan Bangsa Indonesia terhadap hak untuk merdeka atau pandangan terhadap kebebasan bangsa. Kemerdekaan yang merupakan keadaan suatu bangsa atau negara yang pemerintahannya diatur oleh bangsanya sendiri tanpa intervensi pihak asing atau erat kaitannya dengan kedaulatan terhadap wilayah teritorial negaranya sebagaiamana telah diamanahkan oleh UUD 1945 di atas menjadi hal yang wajib untuk disyukuri. Bukti kesyukuran kemerdekaan atas Bangsa Indonesia yang berlangsung selama Bulan Agustus ini ragam diperingati dengan berbagai cara di setiap sudut kota, kampung dan kelurahan. Beberapa diantaranya adalah adanya ragam lomba kemerdekaan seperti lomba makan kerupuk, lomba memasukkan pensil ke botol hingga panjat pinang dan tangkap belut. Malamnya digelar tirakatan, tumpengan syukuran dan biasanya disertai musik hingar bingar untuk merayakan hari kemerdekaan RI.
Tak hanya itu tentunya, adanya hiasan sedemikian rupa dengan warna dominan merah dan putih sebagai simbol bendera bangsa. Lampu-lampu kerlap- kerlip dipasang warna-warni menyemarakkan suasana. Selain itu banyak orang memakai baju daerah suku masing-masing, pakaian sesuai dengan profesi cita-cita para murid-murid dan lainnya. Sayangnya, aktivitas tersebut kadang hanya menjadi seremonial yang tidak memiliki dampak besar terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Bahkan menjadi tanda tanya kembali, apakah benar acara tersebut menjadi bukti bahwa Bangsa-Negara Indonesia telah Merdeka? Atau apakah perayaan ini justru hanya menjadi pembalut untuk menutupi ketimpangan sosial ekonomi yang ada, dan jauh dari kata Merdeka? Semoga ini menjadi renungan mendalam untuk memaknai kata Merdeka yang sesungguhnya. Sebab meski secara harfiah Indonesia telah merdeka dari wujud fisik penjajah di mana tidak ada lagi perang, tidak ada lagi kerja rodi dan romusha namun realita yang ada banyak tanda-tanda alam menunjukan bahwa Bangsa-Negara Indonesia masih berada pada kemerdekan yang semu.
Plot utang Pemerintah Indonesia yang kian melambung tinggi hingga mencapai kurang lebih 18.000 triliun dengan rincian terdiri atas Utang Pemerintah definisi yang sering dikemukakan (Rp8.144,69 triliun), Kewajiban Pemerintah Pusat dalam LKPP (Rp9.536,68 triliun), termasuk Kewajiban Jangka Panjang Program Pensiun (Rp11.265,38 triliun), termasuk kewajiban BUMN (Rp19.507,37 triliun), adalah bukti bahwa secara defenisi bangsa dan negara ini masih terjajah. Selain itu tingkat kemiskinan yang kian meningkat bahkan merosotnya angka kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah bawah atau Aspiring Middle Class (AMC) dari 47% menjadi 48% juga menjadi bukti bahwa bangsa dan negara ini masih mengalami penjajahan secara teroganisir. Demikian dengan permasalahan lainnya seperti angka pengangguran yang tinggi, di mana menurut International Monetary Fund (IMF) mengemukakan tingkat pengangguran Indonesia tertinggi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Angka gini rasio kepemilikan tanah yang masih tinggi berada di angka di 0,54-0,67 menandakan tingkat kepemilikan tanah di Indonesia masih belum adil atau dimiliki oleh sekolompok orang tertentu. Kondisi-kondisi ini menandakan NKRI masih dalam arus penjajahan yang secara tidak sadar kita terus lalui bahkan nikmati. Sebagaimana bunyi alinea kedua UUD 1945 yang menegaskan bahwa pendiri negeri ini baru sebatas mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia. Artinya negara dan bangsa Indonesia belum membuka gerbang tersebut apalagi sampai masuk ke dalamnya.
Penjajahan seperti ini umumnya bukanlah lagi bentuk kolonialisme atau penjajahan yang terkesan sarat akan kekerasan dan penderitaan dari negara yang terjajah. Namun penjajahan secara ekonomi, politik hukum dan lainnya dimainkan secar halus dan terstruktur, yang sering kita disebut Neokolonialisme. Neokolonialisme adalah bentuk penjajahan yang bersifat laten, nyaris tidak tampak secara fisik. Secara tidak sadar, negara-negara yang terjajah oleh kaum Nekolim akan mengalami ketergantungan pada mereka, utamanya dalam bidang ekonomi dan akan cukup memberikan pengaruh pada bidang ideologi. Neokolonialisme akan melakukan bentuk tindakan sosial yang membuat negara jajahan tidak akan mampu berkembang. Selama negara masih terikat dengannya maka segala hal yang dilakukan bukan untuk diri sendiri melainkan untuk kepentingan negara lain, bahkan dapat merugikan diri sendiri. Neokolinialisme di Indonesia sangat baik diperankan oleh Bank Indonesia (BI) yang pada awal sebelum dinasionalisasi, sangat keras di tentang oleh Seokarno. Soekarno saat itu mengumpulkan para ulama, untuk mendudukkan sistem DJB (De Javasche Bank) peninggalan VOC berbasis suku bunga/pinjaman/riba yang kini berganti nama menjadi Bank Indonesia tersebut.
Usaha Soekarno dan Para Ulama untuk memiliki pengelolaan uang rupiah berdaulat sebagai anti tesis dari sistem De Javasche Bank, maka dibentuklah Bank Negara Indonesia (BNI). Bank sentral RI yang diresmikan tanggal 5 Juli 1946 oleh Presiden Soekarno ini, mencetak dan mengedarkan ORI (Oeng Republik Indonesia) ke seluruh wilayah Indonesia. BNI yang lahir pada 5 Juli 1946 ini kemudian mengedarkan mata Uang Republik Indonesia yang berdaulat yakni ORI dengan kolateral emas sesuai amanah UU No.19 Tahun 1946 saat itu. Setiap 10 Rupiah dijamin dengan 5 gram emas. UU No 19/1946. Maksud pemerintah RI yang ingin menjadikan BNI (46) sebagai bank sirkulasi yang berdaulat ini terhambat karena situasi darurat perang yang terjadi kala itu. Ditambah adanya agresi Belanda(VOC) bersama Sekutu kembali menjajah Indonesia, dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Belanda bersama sekutu terus melakukan aksi perusakan ekonomi Indonesia, antara lain dengan melanjutkan blokade dan memutus komunikasi antara pusat dengan daerah. Akibatnya, banyak daerah yang mencetak uang sendiri. Tekanan Belanda sedemikian rupa sehingga pemusatan pencetakan uang tidak bisa dilakukan. Disisi lain desakan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional membuat Belanda terpaksa bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Rangkaian panjang KMB akhirnya disepakati pada 2 November 1949. Selain menghasilkan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, KMB juga menetapkan bahwa De Javasche Bank akan menjadi bank sentral bagi negara Indonesia yang kemudian berkamuflase menjadi BI.
Penjajahan oleh BI secara terstruktur ini menjadikan pengelolaan moneter di Indonesia tidak tunduk pada kedaulatan NKRI sebab BI merupakan jejaring bank sentral di seluruh dunia yang merupakan Sub Ordinat dari Moneter Internasional/Bank Dunia. UU RI No.17 Tahun 2003 pasal 6 ayat 2 point d serta Tap MPR RI No.XVI Tahun 1998 Pasal 9 (MPR RI masih Lembaga Tertinggi Negara) hak moneter berada ditangan BI dan lembaga diluar BI termasuk pemerintah tidak boleh ikut campur atas hak tersebut. Akibatnya dalam proses percetakan uang oleh BI ke pemerintah menggunakan akad utang berbunga/transaksi ribawi. Di mana uang telah menjadi satu komoditas baru yang di perjual belikan oleh BI ke Pemerintah menggunakan instrument Surat Berharga Negara (SBN) dalam ragam bentuknya. Hal ini secara tersirat di ungkapkan oleh Al-Marhum BJ HABIBIE dalam wawancara terakhirnya di TV-One Berjudul “Sedang Viral!! Statement Terakhir Almrhum BJ. Habibie di Indonesia Lawyers Club (ILC)” menit ke 3:21-4:50 yang mengingatkan kita bahwa BI itu sejatinya adalah Bisnis Moneter yang mencetak uang dan kemudian menjualnya kepada siapa saja ketika memenuhi syarat melalui namanya bank. Pendapat terkait praktek keuangan oleh BI ini pun datang dari Prof Fahmi Amhar bahwa pada awalnya, untuk setiap lembar uang yang diterbitkan, bank mesti memiliki backup barang yang senilai. Semula barang itu adalah emas/perak. Lambat laun, karena emas/perak sangat terbatas, sementara kebutuhan transaksi meningkat, maka bank menerbitkan uang dengan backup uang asing yang disebut devisa dalam bentuk SBN.
Tenaga Ahli Utama Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menjelaskan uang dari BI masuk ke pemerintah melalui pembelian SBN lalui ditransfusikan ke kebijakan fiskal baik melalui program sosial maupun stimulus dunia usaha. Senada dengan itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Oskar Vitriano mengatakan BI tak bisa asal mencetak uang. Hal yang paling benar adalah BI membeli SBN dari pemerintah, meski harus membuat pemerintah menambah utang. Praktik Sistem BI inilah yang kemudian menjadikan Sumber Utang Pemerintah sebesar kurang lebih 18.000 Triliun terhadap Utang APBN tadi bersumber dari sini dengan plot terbesarnya di dominasi oleh SBN. Berdasarkan komposisi utangnya, terbanyak adalah bentuk surat berharga negara (SBN) sebesar Rp7.333,11 triliun atau 87,94% dari total utang pemerintah. SBN ini terdiri atas SBN domestik dan valas pada akhir April 2024. Domino efek dari sistem ini selain utang pemerintah yang terus meningkat adalah anggaran pemerintah (APBN) yang pasti selalu mengalami defisit tiap tahunnya. Ketua badan anggaran menyampaikan bahwa Defisit APBN tahun 2024 telah disepakati oleh DPR RI sebesar 2,29% dari PDB atau secara nominal 522,8 Triliun. Bahkan menurut ekonom Awalil Rizky mengatakan bahwa Utang dan Bunga Utang Pemerintah Indonesia akan dibayar dengan Utang Baru Hingga Tahun 2027.
Kegagalan BNI (46) sebagai ikhtiar NKRI memiliki bank sentral yang berdaulat disebabkan oleh kemampuannya yang belum memiliki sistem pengeloaan moneter yang cukup kuat. Sementara DJB saat itu tetap mencetak dan mengedarkan uang dengan sistem yang lebih kokoh dan berpengalaman. Akibatnya uang BNI (46) kalah bersaing dengan uang DJB. Disisi lain ketidakberdayaan negara terhadap independensi atas otoritas moneter BI juga menjadi problem yang utama. Saat itu, BJ. Habibie sempat menyadari bahwa kekuasaan Soeharto tidak berdaya mengintervensi BI sehingga harus meminjam kepada IMF untuk menyelamatkan Indonesia. Akibatnya untuk kesekian kalinya, Indonesia tidak dapat keluar dari belenggu pengelolaan moneter dengan sistem bunga. Padahal pengelolaan moneter dan fiskal dengan sistem tanpa bunga merupakan amanat konstitusi sebagaimana penjelasan UUD 1945 (asli) BAB VIII Hal Keuangan yang menerangkan bahwa uang adalah alat penukar dan pengukur harga untuk memudahkan pertukaran jual beli (produktivitas) masyarakat. Penjelasan ini sangat gamblang dan tidak ada multitafsir, di mana uang bukanlah komoditas/ jasa melainkan sekedar pengukur nilai. Selain itu, Pasal 33 ayat (2) mewajibkan uang dikuasai oleh negara karena merupakan instrumen yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi, secara de facto, pengelolaan moneter dan fiskal (uang rupiah/ keuangan negara) justru sebaliknya. Olehnya Kemerdekaan Indonesia akan sepenuhnya dicapai baik secara politik, hukum, sosial terutama ekonomi dengan cara mengembalikan kembali fungsi uang sebagaimana amanah UUD 1945. Atau dengan kata lain kita harus turut bela negara agar dapat keluar dari Neokolonialisme Bank Indonesia.
Langkah yang perlu dilakukan untuk Merdeka dari sistem Bank Indonesia berbasis bunga/riba yang melanggar amanah UUD 1945 ini, hanya bisa terwujud dengan menggunakan mandat/HAM/Kedaulatan rakyat melalui jalur konstitusional, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu adalah siklus konstitusional kewenangan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan kewenangan atas nama negara. Sederhananya, kedaulatan rakyat melahirkan kewenangan atas nama negara. Dengan kata lain, “Suara” kedaulatan rakyat adalah pra syarat keabsahan kewenangan atas nama negara termasuk tidak terbatas kewenangan atas nama Presiden RI dan kewenangan atas nama DPR RI/DPD RI/ MPR RI. Mandat HAM/Kedaulatan rakyat melalui Pemilu umumnya berupa suara untuk memilih calon anggota legislatif yang akan duduk di singgasana kekuasan. Perolehan suara legislatif ini akan menentukan atau berhak mencalonkan kandidat Presiden RI. Model pemilu terbatas berupa suara yang berlangsung tertutup (di bilik suara), menyebabkan mandat/hak/kewenangan kedaulatan rakyat tersunat dari rakyat berdaulat dengan nama masing-masing menjadi sekedar akumulasi suara. Artinya, mandat rakyat adalah “cek kosong” yang menyerahkan sepenuhnya kepada kewenangan atas nama negara (anggota legislatif dan Presiden terpilih). Inilah awal mula perampasan mandat/hak/kewenangan kedaulatan rakyat yang berlangsung secara konstitusional. Sayangnya, “cek kosong” yang kita sandarkan pada “bahu” kekuasaan terpilih mustahil diharapkan untuk mengkonversi mandat tersebut menjadi (salah satunya) kebijakan pengelolaan moneter.
Kekuasaan hasil Pemilu, baik Presiden RI maupun anggota DPR RI/DPD RI/ MPR RI langsung terikat oleh sistem yang telah ada sebelumnya. Status quo sistem kekuasaan mengamputasi kewenangan eksekutif maupun legislatif untuk mencampuri kewenangan moneter yang dikuasai oleh Bank Indonesia (BI). Situasi ini merupakan konsekuensi logis mandat rakyat yang hanya berupa deretan angka. Kendatipun terdapat saluran oleh MPR RI untuk mengubah UU dan TAP MPR RI terkait kedudukan BI, peluang tersebut mustahil diwujudkan dengan alasan yakni :
- Wajib mempunyai sistem operasional secanggih atau lebih canggih dibandingkan dengan BI. Alasannya, kedudukan BI dalam siklus aktivitas ekonomi laiknya kedudukan otak dalam tubuh manusia. BI selaku “otak” ekonomi yang memberi perintah kepada “jantung” perbankan untuk memompa “darah” uang rupiah ke seluruh “tubuh” rakyat Indonesia. Proses penggantian sistem pengelolaan uang rupiah juga tidak boleh ada jeda, harus otomatis. Bersamaan dengan lahirnya landasan hukum baru, siklus aktivitas ekonomi harus tetap berdenyut atau tidak terganggu. Terganggunya siklus ekonomi dapat mengancam stabilitas ekonomi nasional dan negara.
- Wajib memiliki regulasi cut off terhadap utang luar negeri dan pembaruan kerjasama ekonomi (bilateral/multilateral maupun kerjasama G to B/investasi) yang dilakukan oleh pemerintah atas nama negara. Cut off utang luar negeri adalah garansi Indonesia dapat menyicil utang yang sudah terlanjur berjalan sekaligus menjalankan siklus ekonomi baru dalam negeri dan kerjasama ekonomi luar negeri dengan sistem moneter tanpa bunga. Cut off juga termasuk regulasi terkait penghentian uang BI yang sudah beredar dan menggantinya dengan uang rupiah berdaulat sesuai amanah UUD 1945.
- Wajib memiliki M0 (modal dasar sistem keuangan) yang telah bebas dari tanggungan moneter berbasis bunga. M0 yang menjadi kas awal haruslah bersumber dari produktivitas negara dan sudah tidak lagi memiliki utang budi terhadap moneter BI. M0 ini akan menjadi batu loncatan pemerintah dan rakyat untuk menghasilkan deret produktivitas baru (M1, M2, M3 dst) yang tidak bercampur dengan produktivitas sebelumnya. Hadirnya M0 in juga memastikan redefinisi keungan negara (APBN) dengan segala bentuk turunannya.
- Jika BI tidak bertanggungjawab kepada kekuasaan domestik, maka sistem baru harus bertanggungjawab kepada negara. Problemnya, kebijakan tersebut meliputi fiskal yang saat ini dikelola oleh eksekutif (Presiden) dan legislatif (regulasi). Dengan demikian, dibutuhkan kekuasaan atas nama negara selaku penanggungjawab aktivitas tersebut. Di titik ini, Indonesia sebagai negara republik berdasar atas Pancasila, membutuhkan fungsi kewenangan kepala negara. Anggapan Presiden sebagai kepala negara hanyalah berdasarkan kebiasaan dan kesepakatan “akademik” karena secara de jure, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mendefinisikan Presiden sebagai kepala negara. Lagipula, secara logis, kepala negara dan pemerintahan tidak mungkin dijadikan satu kekuasaan. Mustahil, kepala pemerintahan yang merupakan bagian dari negara mengepalai negara dimana pemerintahan merupakan bagian dari negara. Selain itu, kepala negara mustahil dipilih dengan model kompetisi. Maka perlu ada perubahan struktur baru ketatanegaraan yang secara singkat digambarkan sebagai berikut:
- Pertama, kekuasaan tertinggi tindakan atas nama negara berada pada [{Kedaulatan rakyat, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dengan NAMA masing-masing dengan keputusan tertinggi berada pada MPR RI selaku lembaga tertinggi Negara RI} dan {Presiden RI (Kepala Negara RI dan hakim Pemutus Perkara pada Pengadilan/Mahkamah Negara RI (lembaga baru bagi Presiden RI sebagai hakim) dengan kekuasaan/ kewenangan Tidak Tak Terbatas/ BUKAN EKSEKUTIF)}]. Khususnya, Presiden RI BUKAN pemegang kekuasaan eksekutif.
- Kedua, MPR RI selaku Lembaga/ Majelis Tertinggi Negara RI (bukan hanya House of Lord). Sedangkan DPR RI sebatas lembaga Majelis Rendah (House of Commons) dengan koordinasi Wakil Presiden RI (baca: Perdana Menteri/ Patih).
- Ketiga, kekuasaan eksekutif dapat dilaksanakan oleh Wakil Presiden RI sebagaimana Perdana Menteri atau Patih.
- Keempat, struktur Pemerintahan Negara RI sebagaimana peraturan perundang-undangan, ditambah [UPT Negara RI sebagai perwujudan satu pintu pelayanan rakyat by name by address, Lembaga Moneter berkedaulatan rakyat di tingkat Negara) dan Pengadilan/ Mahkamah Negara RI (Lembaga Kehakiman tertinggi dengan Presiden selaku hakim)].
- Kelima, struktur dan penyelenggaraan kekuasaan/ kewenangan Pemerintahan Negara RI (I-IV), berada di bawah kekuasaan/ kewenangan tertinggi negara yaitu kekuasaan/ kewenangan KEDAULATAN RAKYAT. Tidak boleh atas nama kekuasaan, ujug- ujug merugikan kedaulatan rakyat.
- Keenam, bentuk NKRI sebagaimana dimaksud [Pembukaan, Pasal 1, Pasal 33 UUD 1945] adalah [JEJARING OTONOMI/ KEDAULATAN EKONOMI (fiskal/ moneter) Small Area dalam bingkai Kedaulatan Hukum Negara RI Supremasi Keadilan, Jejaring Participatory Local Social Economic Development (PLSED).Pemerintah Pusat hanya sebagai penyelaras/ dinamisator.
- Ketujuh, kekuasaan/ kewenangan eksekutif dipilih secara langsung (PEMILU), sedangkan penetapan Presiden RI (Kepala Negara RI) merupakan kewenangan MPR RI selaku lembaga tertinggi Negara RI satu paket menerima mandat kedaulatan rakyat segenap bangsa Indonesia.
Namun langkah memerdekakan itu, di mana suara disertai mandat tidak dikenal atau tidak ada mekanismenya dalam peraturan perundang-undangan terkait Pemilu. Pada kondisi inilah pentingnya situasi force majeur yang berarti jika terdapat situasi yang dialami oleh rakyat atau sekelompok rakyat terancam keselamatan hidupnya terutama dalam menjalankan Pasal 29 ayat (2). Sehingga timbul kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia termasuk langkah-langkah implementasinya (Pasal 71 dan 72 UU 39/1999). Hal ini berakibat tidak adanya alasan secara hukum serta mekanisme untuk tidak difasilitasi. Salus Populis Sprema Lex Esto. Berbeda dengan kedaulatan rakyat yang bisa devoting. Kepentingan suara satu orang bisa diabaikan oleh kepentingan suara orang banyak sebab HAM tidak bisa dicabut dari diri seseorang atau sekelompok orang. Alasannya, HAM merupakan hak yang sifatnya inheren pada manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Selain itu, mandat ekonomi Pancasila yang disampaikan melalui Pemilu memiliki beberapa pra syarat yang wajib dipenuhi yakni:
- Pertama, ada bukti bahwa praktik Ekonomi Pancasila a quo dirugikan oleh sistem moneter BI. Artinya, BI tidak dapat mengayomi pelaksanaan ekonomi Pancasila di tingkat privat sehingga mandat ekonomi Pancasila harus disampaikan melalui mekanisme Pemilu. Oleh karena itu, mandat ekonomi Pancasila tidak bisa diajukan melalui Pemilu jika hanya sebatas konsep atau masih berada pada level pemikiran. Ekonomi Pancasila a quo haruslah berupa praktik (sudah dijalankan) dan terbukti secara empiris dirugikan (hingga pada titik mengancam keselamatan diri) oleh sistem moneter BI.
- Kedua, mandat Ekonomi Pancasila c.q. mengelola uang rupiah tanpa bunga berdampak secara sistemik terhadap seluruh aspek kehidupan terutama susunan kekuasaan negara. Mau tidak mau, mandat Ekonomi Pancasila menyebabkan revolusi tata negara. Artinya, mandat Ekonomi Pancasila adalah mandat negara itu sendiri. Contoh sederhana, dalam mandat Ekonomi Pancasila wajib memuat penjelasan terkait lembaga yang nantinya mengelola rupiah tanpa bunga. Dengan demikian, mandat ekonomi Pancasila wajib disertai struktur/susunan kekuasaan yang dapat menjamin terwujudnya ekonomi Pancasila.
- Ketiga, mandat ekonomi Pancasila wajib bersifat taktis implementatif (operasional), mengingat sifat uang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, mandat ekonomi Pancasila haruslah berupa sistem yang lebih canggih dari sistem moneter BI. Sistem moneter ekonomi Pancasila tidak menghilangkan sistem moneter berbasis bunga melainkan mewujudkan pengelolaan uang rupiah tanpa bunga di tingkat negara. Di level privat, BI tetap bisa mengelola moneter berbasis bunga namun sudah tidak boleh menggunakan nama uang rupiah. Alasannya, sedari awal, konstitusi Indonesia mengamanatkan uang rupiah sekedar pengukur nilai, bukan komoditas.
- Keempat, mandat ekonomi Pancasila a quo wajib memuat proses cut off pengelolaan uang rupiah yang selama ini berbasis bunga berganti menjadi uang rupiah tanpa bunga. Hal ini mengakibatkan beberapa penyesuaian baik di level negara maupun di level privat terutama pada berbagai kebijakan dan kerjasama yang melibatkan uang rupiah seperti utang pemerintah dan swasta, investasi serta transaksi yang melibatkan uang rupiah baik yang bersifat G to G, G to B, B to G maupun B to B. selain itu, proses pengalihan uang rupiah dari berbasis bunga menjadi berbasis tanpa bunga tidak boleh melanggar hukum internasional yang dapat berakibat munculnya sanksi embargo ekonomi bagi Indonesia.
- Kelima, rakyat yang mengajukan mandat ekonomi Pancasila wajib bertanggungjawab, ksatria. Mengingat mandat ekonomi Pancasila berdampak terjadinya revolusi baik di tingkat negara maupun di tingkat privat. Rakyat pengusung ekonomi Pancasila wajib mengantar jalannya revolusi konstitusional secara sah dan damai sebagai bentuk hadiah dari Tuhan YME karena mampu mengahdirkan jalannya revolusi tanpa pertumpahan darah.
Akhirnya dengan perubahan tata kelola pengelolaan Sistem Monoter/Ekonomi oleh Bank Indonesia atau menggeser posisi Bank Indonesia ini, dapat menjadi langkah revolusioner untuk mewujudkan 100% Indonesia Merdeka. Mengantarkan Indonesia tidak lagi berada pada depan pintu gerbang kemerdekaan, namun telah masuk didalam area kemerdekaan itu sendiri.
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri
– Ir. Soekarno-