Jika kita berjuang untuk bangsa dan negeri ini tak terkecuali Islam, masa kepemimpinan Presiden/Kepala Negara Harusnya Wajib Seumur Hidup
Wacana “presiden tiga periode” kembali mengemuka tatkala diisukan kembali oleh politikus senior Amien Rais. Tapi, jauh sebelum itu, isu ini pun sudah bergulir, tepatnya pada 2019 lalu. Kala itu, Wakil Ketua MPR RI dari fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan, usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode tersebut datang dari anggota DPR Fraksi NasDem, salah satu partai pendukung Presiden Joko Widodo. Hingga kemudian wacana ini menjadi perbincangan dan perdebatan hangat oleh para pakar tak terkecuali kita kawula media sosial.
Terlepas dari sosok Pak Jokowi yang mana beliau pun telah menolaknya serta menurut saya perlu di telaah kembali, wacana ini juga mengiring pendapat saya pribadi bahwa masa kepemimpinan tiga (3) Periode sebenarnya tidak menjadi persoalan yang besar untuk di debatkan hingga saling caci satu sama lain. Bahkan kalau saya pribadi menyarankan, mendukung bahkan menyepakati agar Presiden atau Kepala Negara itu memilik masa jabatan yang Seumur Hidup bukan hanya 3 Periode.
Mengapa demikian?
Sebab pada perjalanan sejarah bangsa (Sistem Kerajaan) sebagai dasar terbentuknya Dasar Negara yakni Pancasila, masa kepemimpinan Raja umumnya berlaku Seumur Hidup. Dapat kembali kita check pada Sejarah Kerajaan sebagai tonggak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini pun pernah berada pada rasa kepemimpinan Soekarno ketika mengangkat dirinya sebagai Presiden Seumur hidup melalui MPRS masa demokrasi terpimpin di Era Orde Lama. Saat Era Orde Baru masa kepemimpinan Pak Harto pun di emban lebih dari tiga (3) Periode hingga perubahan itu terjadi di era reformasi saat ini.
Lantas yang manakah masa kepemimpinan yg seusai amanah Pancasila dan UUD? Orde Lama, Orde Baru atau Era Reformasi?
Perubahan masa kepemimpinan sejak Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi saat ini yg menggiring wacana Perdebatan Tiga (3) Periode menunjukan kita satu bukti bahwa Pancasila masih di tafsir sesuai dengan keinginan penguasa. Jika itu yg terus terjadi lantas maka akan meyisakan tanya Untuk apa ada Pancasila dan UUD sebagai payung hukum atas konsensus bersama dalam bernegara, jika setiap pergantian penguasa semua berubah seusai kehendak penguasa??
Olehnya itu Makna, Tafsir, dan Haluan Pancasila wajib kembali harus bahas dan disepakati dalam konsensus bersama. Pelaksanaannya dapat di lakukan melalui forum bersama Negara yakni Sidang Istimewa MPR RI (MPR sebagai lembaga tertinggi negara) yg juga bertujuan untuk menuntaskan kembali rapat BPUPKI/PPKI yg sejak dulu belum di selesaikan berupa terkait Tafsir Baku Pancasila. Sehingga agenda rembuk bersama ini menjadi penting untuk segera dilaksanakan. Agar kita tidak lagi berdebat dan bertengkar satu sama lain, karena kita telah mempunyai payung hukum yg disepakati tersebut yakni Haluan Baku Pancasila.
Lanjut dari itu wacana Presiden 3 (Tiga) Periode sebenarnya bagi saya pribadi seperti pada perkataan awal bukan menjadi masalah yg serius untuk di debatkan dengan beberapa alasan di atas. Bahkan saya mengusulkan Presiden/Kepala Negara harus dan wajib punya masa kepemimpinan Seumur Hidup sesuai perjalanan sejarah bangsa tersebut. Akan tetapi tidak dipilih melalui keturunan seperti Sistem Kerajaan Absolut yang juga pernah di tolak oleh Presiden pertama Ir. Soekarno. Akan tetapi dipilih melalui Musyawarah Mufakat sesuai amanah Pancasila Sila ke-4 dengan syarat yg ketat tentunya, karena Everyone Can Be A Leader.
Dan ketika dikaitkan dengan Sistem Islam ajaran Baginda Muhammad SAW, masa kepemimpinan Presiden/Khalifah/Kepala Negara juga Seumur Hidup yg dipilih melalui Musyawarah Mufakat/Syuro atas perwakilan Ahul Wali Wal Aqdi atau perwkilan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara dalam konteks ke Indonesiaan saat ini. Bukan berbasis Keturunan dari sistem Kerajaan Absolut. Karena ajaran ini pun tidak ada dalam praktek Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Pasca proses syuro dilakukan, maka Presiden/Khilafah kemudian di Baiat atau di sumpah/lantik/kukuhkan. Di mana agenda ini pun telah tertuang dalam amanah UUD 1945.
Namun yg akan menjadi pertanyaan adalah ketika Presiden mempunyai masa kepemimpinan Seumur Hidup lantas bagiamana dia bisa berlaku Adil serta mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat sesuai amanah UUD 1945??
Bukankah fakta lapangan yang telah kita temui baik masa Seoharto juga saat ini, lamanya masa jabatan justru akan memberikan dampak yg buruk bagi keberlangsungan hidup berbangsa dn bernegara?
Mungkin ini sedikit keresahan yang dulu pernah juga saya pertanyakan. Dan tentunya rakyat lainnya akan bertanya hal yang sama.
Untuk menjawab keraguan itu, saya diberikan jawaban yg mampu mengantisipasinya. Berangkat dari Tafsir Baku Pancasila dan Bagian Penjelasan UUD 1945 Bab VII terkait Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas yg pernah diajukan ke MK dan MK belum bisa memberikan jawaban saat itu namun telah menjadi hukum publik Negara sejak 2014/2019, maka syarat Kepala Negara/Presiden agar dapat memiliki jabatan Seumur Hidup yakni :
1.Tidak Menerima Harta Apapun dari Negara (Nol Harta).
2. Tidak dapat Berlaku Adil maka di beri Hukuman Mati.
Dua syarat dari Tafsir Kata “Tidak” itulah yg menjadi syarat Presiden/Kepala Negara agar bisa berada pada masa Kemimpinan Seumur Hidup. Tentu diluar kata Tidak yakni pada makna Tak Terbatas ada tanggungjwab besar juga yg di emban yakni Tak Terbatas pada Kekuasan Kehakiman dan Keuangan.
Jadi wewenang presiden(bahasa kepala negara Indonesia) pada tafsir ini sejatinya senada dengan wewenang seorang khalifah. Di mana presiden sejatinya “Hakim Tertinggi Pemutus Perkara Keadilan Sosial berupa Keadilan Hukum dan Ekonomi sesuai ajaran pada masa Kerajaan tak terkecuali masa Islam yg diemban oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Dia berada di atas kekuasan legislatif, eksekutif, yudikatif dan keuangan pada konteks negara saat ini.
Pada makna Keadilan ini, kita tentu mempunyai ragam persepsi dan pendapat berbeda. Akan tetapi respon saya pribadi makna Adil yg dimaksud adalah ketika semua tepat pada porsinya, tidak ada lagi masyarakat yg rugi, semua merasa puas yg dibuktikan tidak satupun protes dilontarkan karena saking adilnya keputusan yg diberikan baik secara Hukum ataupun Ekonomi. Sehingga rakyat menjadi aman, tenteram, dan sejahtera.
Keadilan yg di emban oleh Pemimpin yg Adil pun menjadi tolak ukur utama dalam Islam sesuai hadist Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam HR.Al-Bukhari (no. 660, 1423, 6479, 6806), Muslim (no. 1031 (91)), Malik dalam al-Muwaththa’ di Kitâbusy Syi’ar bab Mâ Jâ-a fil Muttabi’iin fillâh (hlm. 725-726, no. 14), Ahmad (II/439), At-Tirmidzi (no. 2391), An-Nasa-i (VIII/222-223), Ibnu Khuzaimah (no. 358), Ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr (no. 5846, 5847), dan Al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/190, VIII/162) yg menempatkan Pemimpin/Imam/Presiden yang Adil dalam posisi pertama atau paling utama dari Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.
Hal ini pula menjadi penting dalam mencapai tujuan bernegara yg tertera dalam sila ke-5 Pancasila yakni Keadilan Sosial yg berdimensi pada Keadilan Hukum dan Ekonomi.
Dan yg menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah adakah manusia yg mampu menempati posisi itu dengan syarat di atas?? Dari perjuangan yg saya lakukan hingga hari ini, saya mengetahui dan sedang berada didalamnya menunjukan bahwa telah ada manusia yg sanggup berada di posisi itu. Bahkan beliau hingga saat ini telah melepas seluruh kemewahan dunia yg beliau dapat, telah mengLPJkan hingga menebus dirinya dari jasa-jasa moneter Riba BI,
tidak berada pada lingkaran Uang Sistem BI, bahkan bertanggungjawab dengan menandatangani Fakta Intergeritas sesuai dua syarat di atas jika tidak ada manusia yg mampu memenuhinya. Di mana perilaku ini belum saya temukan pada manusia lainnya selain beliau.
Olehnya itu syarat Presiden yang coba ditawarkan dari tafsir UUD 1945 di di atas adalah salah satu bagian dari solusi negeri.Siapapun bisa menafsir serta memberikan tawaran lain di luar ini. Dan kita boleh berbeda soal itu. Tapi bagi saya pribadi sebagai seorang Muslim yang mengikuti jejak Baginda Rasulullah Muhammad SAW juga seorang warga negara yang cukup peduli pada bangsa dan negara ini dari landasan story dan perilaku rasa Bapak Bangsa Seokarno tersebut, yang dalam rangka menjalankan amanah UUD 1945, saya meyakini cuman itulah solusi terbaiknya.
Semoga ini dapat menjadi renungan, pertimbangan dan perjuangan bersama untuk bangsa dan negara yg lebih baik.