Koes Plus, dalam kutipan salah satu lagunya yang terkenal, “Kolam Susu”, menyuratkan keyakinan jamak orang bahwa Indonesia adalah surga di bumi. “ ikan dan udang menghampiri dirimu, … tongkat batu dan kayu jadi tanaman”. Lagu “kolam susu” semacam bukti yang tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara dengan kekayaan yang melimpah.
Ironisnya, kekayaan yang begitu melimpah ternodai dengan perkembangan utang Indonesia, yang alih-alih menyusut, justru semakin menggunung. Dengan kekayaan yang dimiliki, idealnya Indonesia tidak perlu berutang. Kalaupun harus berutang, logikanya, tidak sulit untuk melunasinya. Benar nggak ?
Kita, generasi hari ini, tidak dapat mengubah fakta sejarah bahwa kemerdekaan NKRI ditebus dengan (salah satu)nya menanggung beban utang kolonial. US$ 1,13 miliar (Rp 16,27 triliun, dengan kurs US$1 = Rp 14400) adalah utang yang harus ditanggung oleh Indonesia, prasyarat merdeka hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 1949 silam. Utang tersebut adalah rekap kekayaan yang rusak akibat perang serta seluruh investasi sebelumnya yang dibekukan oleh pemerintah Belanda.
Presiden pertama RI, Soekarno, sempat tidak setuju dan membatalkan pengalihan utang hindia Belanda. Namun, di akhir jabatannya, Soekarno mewariskan tambahan utang sebesar Rp 33,12 triliun, di luar utang hindia Belanda yang telah berkembang menjadi US$ 4 milyar (Rp 57,60 triliun).
Pasca dilantik menggantikan Soekarno, Soeharto otomatis mewarisi utang Orde Lama. Akan tetapi, bukannya mengurangi utang, Soeharto justru semakin getol melakukan pinjaman baru. Ditambah kasus mega korupsi yang menghiasi 32 tahun perjalanan Orde Baru, saat dilengserkan 1998, Soeharto mewariskan utang sekitar Rp 551,4 triliun.
Meskipun hanya seumur jagung, BJ Habibie tercatat sebagai Presiden yang menambah utang warisan Soeharto semakin besar dalam waktu singkat. BJ Habibie mengakumulasi tambahan utang luar negeri hingga US$ 20 miliar. Dengan demikian, warisan utang dari Habibie sekitar Rp 938,8 triliun saat dipaksa turun melalui SI MPR RI.
Pasca reformasi bergulir dan suksesi Presiden, Gus Dur, menggantikan BJ Habibie, sempat menurunkan utang luar negeri pemerintah menjadi sekitar US$ 21,1 miliar. Namun, utang pemerintah secara keseluruhan meningkat. Sebelum lengser, Gus Dur mewariskan utang sebesar Rp 1271,4 triliun ke pemerintahan Megawati Soekarno Putri.
Pada masa Megawati, utang Indonesia untuk pertama kalinya turun menjadi Rp 1.223 triliun (2002). Sayangnya, penurunan tersebut harus dibayar mahal dengan melego aset-aset negara yang penting dan berharga. Sebelum akhirnya digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati mewariskan utang sebesar Rp 1298 triliun (2004).
Periode pertama pemerintahan Presiden SBY, utang Indonesia sempat melonjak tajam menjadi Rp 1590,7 triliun (2009). Positifnya, di era SBY, Indonesia melunasi utang-utangnya pada IMF yang menjerat sejak 1997. Pada Oktober 2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang harusnya jatuh tempo pada 2010 telah diselesaikan oleh BI.
Menjelang berakhirnya periode kedua pemerintahan SBY, secara akumulasi, utang SBY lebih besar dibanding presiden-presiden sebelumnya. Per 2014, utang pemerintah sudah menembus Rp 2608,8 triliun. Pembengkakan utang di era SBY terbayarkan dengan penurunan rasio utang terbesar dibandingkan era sebelumnya.
Selama kurun waktu 10 tahun, SBY menurunkan rasio utang Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 22,6%, dari 47,3% menjadi 24,7%. Artinya, utang tersebut bersifat produktif (pertumbuhan ekonomi positif).
Di era Joko WIdodo, tren penambahan utang terus berlanjut. Di era SBY, utang naik 1.309 triliun selama 10 tahun. Di era Jokowi, lonjakan utang lebih ekstrem. Pada periode pertama Jokowi, utang bertambah sebesar Rp 2170,2 triliun. 1,5 kali lebih besar dari utang di era SBY selama 2 periode.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB di era Jokowi juga cenderung naik. Di penghujung 2019, rasio utang meningkat menjadi 29,8%, naik 5,06 % dari awal menjabat. Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 semakin menambah akumulasi utang negara. Hingga akhir Mei 2021, utang Indonesia mencapai Rp 6.418,15 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 41,8%. Tampaknya, angka ini akan terus naik karena pageblug tengah memasuki gelombang kedua.
75 tahun merdeka, 7 presiden yang berbeda, seolah hanya justifikasi bahwa kekayaan Indonesia berlimpah hanyalah sebuah ilusi. Benarkah demikian ? Tidak. Indonesia dengan potensi kekayaan SDAnya selalu jatuh dalam kubangan utang karena absennya kedaulatan moneter negara sebagai bagian dari keuangan negara. Hal ini berlangsung sejak Indonesia merdeka. Saya ulangi, sejak Indonesia merdeka.
Pasal 1 ayat 1 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Lebih lanjut, perwujudan hak dan kewajiban negara dijlentrehkan di Pasal 2 huruf a dan b, yaitu a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; dan b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
Hak negara pada Pasal 2 huruf a kemudian langsung di”sunat” oleh Pasal 6 ayat 2 huruf d yang menyatakan kewenangan keuangan negara tidak termasuk moneter.
Lalu, siapa yang memegang kekuasaan moneter ? Ya, Bank Indonesia. Landasan hukumnya tertuang dalam TAP MPR RI No. XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, khususnya pasal 9. Di situ disebutkan bahwa BI adalah satu-satunya lembaga moneter yang bersifat independen, tidak boleh dicampuri oleh pemerintah dan pihak luar lainnya. Catet ya, pemerintah dianggap pihak luar.
Pasal 9 dalam TAP MPR RI ini adalah titik krusial penghilangan secara paksa dan berlangsung secara konstitusional, hak negara untuk melaksanakan tujuan bernegara.
Bukankah aneh, pemerintah selaku penyelenggara negara yang merupakan manivesto kedaulatan rakyta tidak bisa atau dilarang ikut campur soal moneter ? Selain itu, tidakkah aneh jika penyelenggara BI yang pencalonannya diusulkan oleh Presiden RI, ditanggapi oleh DPR RI dan dilantik oleh Presiden RI tak bisa dievaluasi oleh keduanya ? Lantas, sebagai lembaga moneter yang ada embel Indonesianya, mengabdi kepada siapakah BI ini ?
Tidak bisa dipungkiri, moneter masuk dalam sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kebijakan moneter akan menjamin pemanfaatan kekayaan SDA ini secara optimal. Oleh sebab itu, idealnya, kewenangan moneter berada di bawah lembaga manivesto kedaulatan rakyat secara langsung dan bertanggungjawab kepada rakyat.
Apa dampak terbesar dari hilangnya kewenangan moneter dari pemerintah ? Indonesia kehilangan kedaulatan untuk mengelola kekayaannya secara utuh. Sistem moneter adalah bagian dari keuangan negara dan keuangan negara bagian dari kekayaan negara. Sistem moneter memegang fungsi intermediasi kekayaan negara lainnya yaitu manusia dan SDA/Lahan.
Idealnya, sistem moneter sekadar alat untuk memperlancar produktivitas dan lalu lintas produktivitas barang/jasa. Oleh BI, sistem moneter diposisikan sebagai komoditas. Produktivitas manusia menjadi terbatas dengan alasan “tidak ada uang” karena mengikuti logika “orang mengikuti uang”.
Untuk mengatasi kelangkaan uang, dimunculkanlah opsi utang dan investasi sebagai dua jurus utama untuk menutupi gap antara SDA/L dan SDM. Padahal, jika dibalik, “uang mengikuti orang” (sistem moneter hanya sebagai katalisator), dengan kekayaannya yang melimpah, Indonesia tidak butuh utang atau investasi. Indonesia hanya butuh kerjasama dengan pihak lain.
Psikologis utang dan investasi tidak sama dengan kerjasama (kooperasi/kolaborasi). Utang dan investasi mendudukkan Indonesia pada posisi yang lemah. Jika terjadi situasi yang tidak ideal, Indonesia akan cenderung berada pada posisi yang dirugikan. Kasus Freeport, Newmont dan yang teranyar proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung adalah contoh lemahnya posisi Indonesia terhadap utang dan investasi.
Oleh sebab itu, tidak ada harapan utang Indonesia akan lunas dan investasi akan menguntungkan Indonesia sepanjang sistem moneter dicabut paksa dari keuangan negara (hak negara).
Memang, dengan sistem moneter (BI) saat ini yang mutlak tidak berdaulat, ekonomi tetap bisa berjalan, kehidupan bisa tetap berputar. Akan tetapi, laiknya mobil, kita dipaksa-kondisikan melaju Avanza padahal kecepatannya Ferari. Istilah kerennya, modern slavery (perbudakan modern). Memang sih, tidak ada cambukan atau siksaan. Tetapi, rasa tersiksanya itu berlangsung setiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun, sejak Indonesia merdeka.
Qadaruddin Fajri Adi
Warga Negara (Rakyat Berdaulat) Indonesia)
*Note: Judul di Edit : Klik Aslinya *