Sab. Jul 27th, 2024

Dalam setiap perjalanan kehidupan tentunya sebagian besar manusia pada umumnya ingin mendapatkan rezeky yang halal seperti apa yang telah ditakdirkan dalam kepercayaan agama yg dianut. Rezeky yg dimaksud adalah harta-benda berupa “Uang”, sebagai penopang rezeky laiknya kesehatan, umur, kesempatan dan perkara hidup lainnya yang harus di cari dengan cara-cara yang baik dan benar. Hal ini menjadi penting sebab “Uang” konon telah menjadi Urat Nadi Kehidupan yang tidak mungkin bisa lepas dari semua aktivitas manusia. Segalanya butuh Uang, itu mungkin sekilas penggalan sajak yang tengah berkembang di masyarakat. Tak hanya sebatas itu tentunya, seyugiyanya kita pun harus mengetahui bagaimana dia (uang) dikelola, dikeluarkan, didapatkan dan melalui apa uang itu sampai ke kita. Hal ini menjadi sangat penting sebab itu sebaik-baik ukuran “Uang Halal” sesuai dengan ketetapan agama/kepercyaan yang dianut dalam ragam kitabnya.

Di luar dari kondisi di atas, sifatnya dapat terhukumi “Darurat, Syubhat bahkan Haram”. Akan tetapi sebagian kita, memandang bahwa hanya proses saja yang kemudian menentukkan status hukum kejelasan dari uang yang kita peroleh, tanpa melihat ukuran seperti pernyataan mendasar di atas sebelumnya. Padahal unsur itu menjadi satu paket yang menentukan statusnya dengan apa yang kita peroleh ke depan.
Meski diketahui bahwa “Penetapan Hukum Halal, Syubhat dan Haram” adalah Wilayah Ketuhanan, namun dari beberapa indikator yang diberikan, kita selaku manusia juga pelaksana Tuhan di dunia punya andil untuk melakukan pendekatan-pendekatan terkait status hukum tersebut.

Di Sistem Keuangan Suku Bunga yang tengah menjajah hingga mengakar bahkan mendarah daging, dan membuat kita hidup- teguh berdiri hingga hari ini,, “Uang Halal” yang di idam-idamkan oleh sebagian besar umat manusia hanya menjadi khalayan semata. Artinya, setiap yang kita dapati, nikmati dan konsumsi selama ini, status uang yang diperoleh tidak bersifat “Halal” akan tetapi “Sybuhat bahkan Haram” dalam kapasitas apapun pekerjaan yang kita lakukan. Baik itu pegawai kantoran, karyawan, penceramah, pedagang, pengajar atau lainnya.

Meski ini terdengar “Rasis” tapi itulah kenyataan “Sistem Suku Bunga” yang kita harus terima dengan terpaksanya. Dan jarang kita sadari, renungi juga muhassabahi. Pernyataan senekat itu, tentunya ditulis bukan tanpa dasar, tapi melalui renungan yang mendalam dan bukti yang kuat. Jika kita memahami konsep Sistem Pengelolaan Keuangan, dimulai dari proses “Percetakkan dan Putaran Keuangan” maka kita akan mendapati bahwa sungguh rusaknya sistem yang dikelola oleh induk perbankan tersebut, yakni “Bank Indonesia”. Pada proses pertama kali uang dicetak/dikeluarkan dari segelumit hitungan ekonomi yang kita pelajari, tanpa sadar bahwa bersamaan dengan itu ada “Surat Utang Negara/Obligasi” yang harus dikeluarkan.
Dalam tulisan Prof Fahmi Ahmar beliau mengungkapkan seperti ini “
Pada awalnya, untuk setiap lembar uang yang diterbitkan, bank mesti memiliki backup barang yang senilai. Semula barang itu adalah emas/perak. Lambat laun, karena emas/perak sangat terbatas, sementara kebutuhan transaksi meningkat, maka lalu bank menerbitkan uang dengan backup uang asing yang diyakini dibuat dengan metode backup yang sama. Ini disebut devisa. Kemudian backup itu juga asset negara seperti BUMN. Jadi surat berharga kepemilikan BUMN itu, ditukar pemerintah ke bank menjadi uang. Backup devisa dan surat berharga ini rawan berfluktuasi nilainya. Kalau kondisi negara asal devisa itu memburuk, apalagi terancam perang, maka nilainya bisa hancur. Demikian juga kalau ternyata BUMN itu bangkrut, maka surat berharga tentang memilikinya menjadi kehilangan nilai. Ketika tahun 1998 BI mengeluarkan BLBI ratusan trilyun, uang itu ditukar dengan surat berharga atas perusahaan-perusahaan obligor. “

Uang yg dibeli menggunakan SUN/Obligasi ke Bank Indonesia yg ini juga pernah di katakan oleh Al-Marhum BJ Habibie, menjadikan uang pada percetakan awalnya saja sudh menjadi “Komoditas Dagang”. Padahal sejatinya uang dalam amanah agama dan UUD 1945 hanyalah sebagai alat tukar atau pemulus transaksi barang dan jasa saja. Dia di luar komoditas dagang yang tidak perlu di bungakan/ribakan. Dari penjelasan inilah awal proses uang dicetak, status “Uang” itu sudah terhukumi “Riba”. Dan dalam ragam agama atau kepercayaan lainnya, menghukumi “Riba” sebagai perbuatan yang “Haram/Merugikan”.

Tidak hanya itu tentunya, proses percetkan “Uang” dengan sistem di atas, menjadikan uang menjadi terbatas. Efek domino keterbatasan uang adalah defisitnya anggaran, pasar tidak menentu, lahirnya investasi, pajak (hari ini) yg tidak jelas akadnya, kemiskinan, pola perhitungan PDB yg ambigu, bahkan persaingan hidup yg tidak ada dalam konsep beragama dan bernegara. Manusia kini menjadi hamba “Uang”. Menjadikannya kacau, pertengkaran, perpecahan, korupsi, suap, dan segala jenis kejahatan lainnya yg di picu oleh namanya “Uang”. Debt Based Money System membutuhkan Debt (hutang) yg menghasilkan Riba/Suku Bunga sebagai sumber energi. Kalau kita tidak bisa membayangkan efek kurangnya hutang terhadap sistem ini, bayangkan saja seseorang yang hanya bisa memakan sepotong roti kecil + segelas air putih setiap hari. Hari demi hari, dia akan semakin kurus. Sampai dia kekurangan gizi dan akhirnya mati.

Sedangkan untuk putaran keuangan yang dilakukan disesuaikan dengan program pengelolannya. Pada pengelolaan Program Kepemilikan Negara, sumber keuangan didapat melalui APBN yang sudah dianggarkan. Dan ini diperuntukkan bagi mereka Pejabat Negara/Pemerintahan/Pegawai Negeri Sipil.
Akan tetapi Program Kepemilikan Di Luar Negara/Swasta umumnya sumber Keuangan didapat melalui Perbankan yang harus diputar kembali, baik itu bentuk investasi tau pinjaman, diperuntukkan bagi mereka Pegawai Swasta.

Ketika melihat kondisi tersebut, bagi kita yang kurang memahami terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh, kita akan menemukan kesalahan kedua yang merujuk pada “Status Hukum Syubhat/Haram” atau tidaknya proses itu. Putaran uang yang melalui APBN di dapati sumbernya adalah “Pajak Rakyat” (Kisaran 80-90%). Pajak yang diwajibkan oleh negara dan harus dilaksanakan bagi mereka yang “Wajib Pajak” tak diketahui akadnya seperti apa kepada masyarakat. Apakah hibah, pinjaman atau pemerasan secara sepihak. Bahkan mungkin tak ada akad sama sekali yang dibangun oleh pemerintah bersama rakyat. Karena ketidak jelasan status akad tersebut, maka membuat sifat hukumnya pun tak mengalami kejelasan. Dalam kepercayaan Islam kita mengenalnya dengan nama “Syubhat”.

Apalagi jelas bahwa jika itu di yakini pinjaman oleh rakyat, maka wajib bagi pengelola bahkan penerima pinjaman itu u/ mengembalikan pada yang memberi pinjaman atau utang. Bahayanya adalah kita tidak tau bahkan mampu untuk melakukan hal itu. Maka hal ini dapat dipastikan bahwa uang yang diterima itu bisa terhukumi “Syubhat bahkan Haram”. Sedangkan tanpa melalui APBN uang diputar melalui namax Perbankkan yang dengan jelas mengelola sistem bunga/riba.

Meski sebagian besar orang melakukan kerja-kerja yang baik, akan tetapi kembali pada prinsip unsur di atas. Ibarat kita kerja di toko kopi, pedagang pakaian ataupun guru ngaji tapi mendapat upah dari “Uang Korupsi atau Uang Judi” yang terhukumi “Haram/Syubhat”,
Apakah status hukum “Uang Korupsi/Judi” itu menjadi “Halal”?
Atau jika sebagian besar orang mengatakan sudah berprilaku Syariah dan melakukan prinsip-prinsip Ekonomi Syariah, lantas apakah mengubah status hukum dari “Uang” yang sudah terverifikasi melekat “Riba” tadi yakni dari Riba menjadi Tidak Riba? Jika memungkinkan mengalami perubahan karena keadaan, status hukum paling terpaksa yang diambil adalah “Darurat”.
Pertanyannya sampai kapan dia akan bersifat “Darurat”?
Seirama dengan hewan “Anjing dan Babi” yang status hukumnya jika di makan dalam kepercayaan Islam berubah menjadi “Boleh/Darurat” punya batasan waktu yang jelas, lantas untuk “Uang yang Bersifat Ribawi” sampai kapan dia akan berakhir?

Pada keadaan inilah yg pengelolaannya (uang) jelas tidak sesuai Kaidah Agama dan Pancasila/UUD 1945 dan maksud pendiri bangsa/negara ini, gerakan-gerakan Kebangsaan, Partai Islam, Partai Nasionalis, Gerakan Agama/Kepercyaaan terutama Semua Gerakan Islam dengan segala label Keahlian dan Keprofesian yg di punya, belum mampu memberikan solusi hingga teknis dari masalah ini.
Partai yang memberikan wacana 5 Besar Dunia, tanpa mampu menyelesaikan akar masalah ini, maka mimpi itu sebuah Halusinasi Belaka.

Bahkan Gerakan Islam yg selalu berdakwah agar kita menghindari Perilaku Riba sehingga Islam akan Berjaya/Khilafah Bangkit, akan tetapi Takut/Belum Berani memberikan Memo/Fatwa terkait Lembaga Pengelola Sistem Ribanya yakni “Bank Indonesia” adalah Perkataan yg Hoax untuk terjadi.

Sehingga sampai Kiamat terjadi tanpa menyelesaikan akar masalah ini, mau apapun pekerjaan kita “Status Uang” yg kita peroleh adalah ” 100 Pasti Riba”.

Dari Hasan al-Bashri, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى أَحَدٌ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا فَإِنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ بُخَارِهِ. قَالَ ابْنُ عِيسَى: أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
Sungguh akan datang satu zaman di tengah umat manusia, tidak ada satupun orang kecuali dia akan makan riba. Jika dia memakannya, dia akan terkena asap/debu ribanya. (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah ; Khilfafiyah)

Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram.”
Shahih Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Qaulil-Lah Azza wa Jalla: “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu ta’kuluu ar-ribaa” 4: 313, dan Sunan Nasa’i 7: 234, Kitab Al-Buyu’, Bab Ijtinaabi Asy-Syubuhaat fi Al-Kasbi)

Hadist ini dikutip dari islampos(dot) com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X